🌒 Mengapa Ibadah Ritual Harus Sejalan Dengan Ibadah Sosial
Mengapaibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial - 18263996 sendiotm21 sendiotm21 11.10.2018 Sejarah Sekolah Menengah Pertama terjawab Mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial 2 Lihat jawaban Iklan Iklan minan843 minan843 Karena kalau tiak sejalan dengan ibadah sosial itu hukumnya haram/tidak boleh Iklan
AlMaun - Baca Nurawala. Memotret Relasi Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial dalam QS. Al-Maun. "Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah
Nilaikedua ibadah, baik ritual dan sosial sama-sama urgen dan penting dalam pandangan Islam. Keduanya perlu dan bahkan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Betapa signifikan kedua ibadah itu dalam Islam tergambar di berbagai ayat Al-Qur'an yang senantiasa menyandingkan kewajiban mendirikan ibadah shalat
Mengapaibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial - 4472460. diniardi diniardi 28.11.2015 Sekolah Menengah Atas terjawab Mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial 1 Lihat jawaban Iklan Iklan hestyainun15 hestyainun15 Mungkin karena tidak di inginkan nantinya terjadi bid'ah yg buruk krn tdk sesjalan dgn ibadah sosial
Halitu berarti, setiap orang penting memahami dimensi sosial dari setiap ibadah ritual. Meski ibadah-ibadah ritual itu dilakukan dalam rangka membangun hubungan baik dengan Allah SWT ( hablun minallah ), tujuan akhirnya adalah agar seseorang memperbaiki akhlaknya pada sesama ( hablun minannas ). Pesan ini penting agar tidak terjadi kesenjangan
Ibadahritual yang kita lakukan harus merefleksikan sebuah kegiatan-kegiatan yang memberikan pencerahan dan kegiatan penyegaran kepada lingkungan masyarakat. Sholat kita, puasa kita, zakat kita, dzikir kita, tahlil kita tilawah Qur'an kita hendaklah memberikan dampak pengaruh social dalam kehidupan kita. Untuk itulah Rasulullah SAW menyatakan
Dengankata lain, kesalehan ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan sosial. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang, jika tidak disertai dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di Masjid, harus diimbangi dengan rajin sedekah, peduli dengan nasib kaum mustadh'afin. Rutin mengaji harus disertai dengan rutin berbagi kepada saudara
Penceramah: Drs. Hasrat Efendi Samosir, MA Hari/Tanggal : Senin, 27 Maret 2017 Judul ceramah : Ibadah Sosial vs Ibadah Ritual Dalam hidup ini dua macam ibadah. Ibadah ritual dan ibadah sosial. Atau dalam istilah lain, kesalehan individual dan kesalehan sosial. Salah satu surah yang menyuruh kita untuk melaksanakan ibadah sosial yaitu surah al-Ma'un, "Tahukah []
ouDC. Jakarta - Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, kembali mengingatkan dalam Ramadan ini soal ibadah ritual dan perilaku sosial. Inilah tausiahnyaHadis sahih riwayat An-Nasai, Baihaqi, Ibnu Huzaimah, dan Thabrani dari Abi Ubaidah RA "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Puasa adalah perisai selama yang bersangkutan tidak merusak'. Lalu ada pertanyaan, 'Dengan apa merusaknya?' Jawab Rasulullah 'Dengan berbohong atau bergunjing'.”Kejujuran adalah bagian utama dari ketakwaan kita. Kita pun menjalani puasa kita dengan penuh kejujuran. Rasanya tidak ada orang yang memulai harinya dengan makan sahur, lalu di luar rumah dia makan/minum dengan sembunyi-sembunyi. Penelitian Riaz Hassan dari Flinders University, Australia, pada 2005 mengungkapkan bahwa muslim Indonesia mempunyai kesalehan ritual tinggi. Ia menemukan fakta bahwa 96 persen umat Islam di Indonesia menjalankan salat lima waktu, Mesir 90 persen, Pakistan 56 persen, dan Kazakstan 5 persen. Umat Islam yang berpuasa di Mesir dan Indonesia mencapai 99 persen, Pakistan 93 persen, dan Kazakstan 19 persen. Sebanyak 94 persen muslim Indonesia membayar zakat, Mesir 87 persen, Pakistan 58 persen, dan Kazakstan 49 penelitian di atas benar adanya. Dibandingkan saat saya SMA atau kuliah 40-50 tahun lalu, jumlah warga muslim Indonesia yang saleh secara ritual jelas fakta positif di atas tampaknya tidak sejalan dengan perilaku sosial umat Islam di Indonesia. Banyak pemeluk Islam di Indonesia tidak mengaitkan ibadah ritual salat, puasa, haji dengan perilaku sosial secara luas. Puasa lebih dilihat sebagai kewajiban yang harus dijalankan tanpa melihat bagaimana mutu puasa umat Islam tidak terlalu peduli akan dampak positif puasa itu terhadap kehidupan sosial ataupun kehidupan profesional. Kita tidak risau apakah puasa kita itu hanya puasa fisik, bukan puasa batin. Padahal Rasulullah SAW sudah memperingatkan bahwa banyak orang berpuasa hanya mendapatkan haus dan lelah. Penyalahgunaan kekuasaan sudah menjadi kebiasaan di mana-mana, apa pun jabatan kita. Pejabat pemerintah sipil, militer, Polri sudah sejak dulu menyalahgunakan kekuasaan. Anggota DPR/DPRD kini mengikuti jejak yang salah arah tersebut. Pejabat pengadilan dan pengacara juga sudah ketularan virus tersebut. Perizinan menjadi industri yang menguntungkan bagi para penguasa. Industri ini aman dan tidak mudah dilacak. Bagi para pelakunya, hal itu dianggap bukan penyalahgunaan mendidik kita mengendalikan hawa nafsu. Cukup banyak yang berhasil. Mengapa pengendalian diri itu hanya bertahan dalam sebulan? Banyak ceramah serta tulisan yang bagus dan menyentuh hati. Namun hal itu tampaknya belum bisa mempengaruhi kita. Mengapa bisa terjadi seperti itu?Apakah dalam perenungan malam hari pada bulan Ramadan kita berani dan mampu mawas diri dengan teliti sehingga menyadari dosa sosial dan dosa profesional yang telah kita lakukan dan bersungguh-sungguh untuk bertobat dan tidak mengulanginya? Semoga pada Ramadan ini Allah bermurah hati untuk menyadarkan diri kita sehingga kita mampu menelisik dosa-dosa kita.
Selama ini, tidak jarang kita jumpai orang-orang yang rajin serta tekun menjalankan aktivitas ibadah ritual, seperti sholat, puasa, haji, serta ibadah-ibadah ritual lainnya, yang menunjukkan tingkat kesalehan individu atau kesalehan pribadi, tetapi berbanding terbalik dengan aktivitasnya dalam ibadah-ibadah sosial. Mereka tidak memiliki empati terhadap orang lain, tidak peduli dengan kondisi lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka apatis terhadap persoalan sosial yang dihadapi oleh warga di sekitar tempat mereka tinggal. Kesalehan ritual individu yang mereka miliki tidak sejalan dengan kesalehan al-Qur’an mengajarkan pentingnya hubungan dengan Allah hablun min Allah dan hubungan dengan sesama manusia hablun min an-nas. Ibarat dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan dengan Allah harus terjalin dengan baik, pun demikian halnya dengan hubungan sesama manusia, harus berjalan dengan baik pula. Dengan kata lain, kesalehan ritual-individual harus sejalan dengan kesalehan fenomena yang kita dapati jauh panggang dari api. Betapa banyak kita jumpai orang-orang yang tampak saleh, kerap menunjukkan simbol-simbol agama, tetapi justru menodai agama dengan perilaku tercela. Shalat setiap hari, tetapi korupsi tak pernah berhenti. Haji dan umrah berkali-kali, tetapi abai dan tidak peduli dengan nasib para mustadh’afin, kaum fakir miskin. Rajin mengunjungi majelis taklim tetapi juga rajin menggunjing, memfitnah, menebar benci di demikian kenyataannya, izinkan saya sekadar bertanya, untuk apa shalat jika hanya sebatas menggugurkan kewajiban ritual formal semata tanpa makna? Padahal, inti dari shalat adalah mencegah perbuatan keji dan munkar. Untuk apa bolak-balik pergi haji dan umrah dengan biaya yang tidak sedikit—padahal Rasulullah Saw. sendiri hanya melaksanakan Haji sekali seumur hidupnya, dan umrah hanya dua kali sepanjang hayatnya— tetapi tidak peka dan tidak peduli dengan nasib para fakir miskin? Apa manfaatnya rajin menghadiri pengajian, majelis taklim, jika tidak ada dampak sedikit pun dalam mengubah akhlak menjadi lebih baik?Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ada pada diri kita masing-masing. Dan itu akan menunjukkan seperti apa sesungguhnya kualitas diri kita yang penulis, setelah ibadah ritual kita lakukan, setelah kesalehan individu personal kita tampakkan, maka langkah selanjutnya adalah menerjemahkan makna ibadah-ibadah tersebut dalam kehidupan sosial kita. Inilah yang kemudian disebut dengan kesalehan antara wujud kesalehan sosial adalah lahirnya sikap cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Dianggap sia-sia ibadah ritual seseorang, jika tidak disertai dengan ibadah sosial. Rajin shalat jamah di Masjid, harus diimbangi dengan rajin sedekah, peduli dengan nasib kaum mustadh’afin. Rutin mengaji harus disertai dengan rutin berbagi kepada saudara dan tetangga yang membutuhkan. Tekun bermunajat memohon pertolongan Allah harus dibarengi dengan tekun memberi pertolongan kepada orang lain. Aktif mencari ilmu harus diikuti dengan aktif menyebarkan serta menyampaikannya kepada orang wujud nyata dari kesalehan sosial. Sehingga hadirnya seseorang di tengah masyarakat, dapat memberi arti, makna serta manfaat bagi orang lain di pesan Nabi Saw, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain”. HR. Ahmad.* Ruang Inspirasi, Ahad, 16 Januari
Bisa dikatakan puasa adalah ibadah sosial. Karena, tujuan terbesar diwajibkanya puasa Ramadhan adalah berkenaan dengan problematika sosial. Seperti keadilan sosial, wabah korupsi, kejujuran, amanah dan pengentasan kemiskinan. Sehingga, puasa Ramadan kali ini pun akan memiliki relevansi yang signifikan dengan hiruk-pikuk kondisi bangsa Indonesia saat ini. Puasa bukan sebatas hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, bahkan memiliki hubungan horizontal antara manusia dengan sosial. Agar tidak terkesan basi, saya berusaha mengaitkan hubungan antara puasa dan sosial dengn perspektif baru yang mungkin belum pernah dikaji sebelumnya. Puasa dan keadilan adalah dua hal yang saling berhubungan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainya. Karena jika ditelisik lebih dalam dan rinci, keadilan adalah tujuan dari disyariatkanya puasa itu sendiri. Jika boleh saya katakan, puasa adalah sarana ataupun transportasi untuk menuju tujuan universal Tuhan yang di antaranya adalah keadilan sosial, kejujuran dan kesejahteraan. Begitu pun antara puasa dan korusi. Keduanya memiliki ikatan signifikan yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang senantiasa menjalankan puasa, namun enggan untuk menanggalkan sifat korubnya, maka dia tidak bisa dikatakan telah menjalankan inti dari puasa tersebut. Karena inti dari berpuasa adalah meninggalkan berkorupsi itu sendiri. Hal tersebut bisa kita lihat dengan jelas dalam firman Tuhan “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” QS Al Baqarah 183 Pada ayat tersebut, secara eksplisit Tuhan mengatakan bahwa tujuan diwajibkanya berpuasa adalah “agar kamu bertaqwa”. Jika demikan, maka sebenarnya inti dari pada puasa tersebut adalah bertakwa itu sendiri. Sehingga, dalam ayat tersebut secara tidak langsung, seolah Tuhan mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bertakwa.” 1. Puasa dan Keadilan Takwa –sebagaimana menurut ulama– adalah mentaati perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Dan berbuat adil adalah salah satu yang diperintahkan oleh Tuhan. Sebagaimana dalam dalam firman-Nya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” QS An-Nahl 90 Dengan berbuat adil berarti kita telah mentaati perintah Tuhan, dan mentaati perintah Tuhan adalah makna dari ketakwaan, dan ketakwaan adalah tujuan dari disyariatkanya berpuasa. Berarti, tujuan disyariatkanya berpuasa adalah keadilan itu sendiri. Jika demikian, maka —menurut saya– maksud dari QS Al Baqarah, ayat 183 di atas adalah, seolah Tuhan hendak mengatakan “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar” kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan menjauhi perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” Sampai disini jelaslah bahwa tujuan puasa adalah agar manusia berbuat adil dan kebajikan lainya kepada sesama. Maka, sangatlah jelas bahwa puasa bukan semata hubungan vertikal manusi dengan Tuhan bahkan memiliki hubungan horizontal dengan sosial. Sehingga puasa bukan hanya bersifat teosentris, bahkan antroposentris. 2. Puasa dan Korupsi Sebagaimana takwa adalah mentaati perintah Tuhan, begitupun menjauhui larangan Tuhan yang berupa korupsi. Korupsi adalah sebentuk kejahatan dengan modus memakan harta orang lain dengan batil. Sehinggga, korupsi merupakan tindakan keji yang secara eksplisit dilarang oleh Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Tuhan dalam surat Al-Baqarah yang artinya “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” QS Al-Baqarah 188 Menjauhi korupsi adalah menjauhi larangan Tuhan, menjauhi larangan Tuhan adalah ketakwaan, ketakwaan adalah tujuan diwajibkanya puasa Ramadhan. Kesimpulanya, tujuan diwajibkanya puasa Ramadhan adalah menjahuhi tindakan keji berupa korupsi. Sehingga maksud dari surat al-Baqarah, ayat 183 di atas adalah, seolah Tuhan hendak mengatakan “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu tidak memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil yaitu korupsi.” 3. Puasa dan Pengentasan Kemiskinan Puasa sangat berhubungan dengan pengentasan kemiskinan. Menurut saya, diantara tujuan Tuhan melalui ibadah puasa adalah mengentaskan manusia dari segala kemiskinan. Artinya, mengentaskan kemiskinan termasuk inti dari puasa itu sendiri. Karena sebagaimana yang telah saya katakan di atas bahwa, inti dari puasa adalah takwa, sedang menyejahterakan manusia adalah bagian dari takwa. Dalam literatur fikih, seseorang yang merusakan puasanya dengan ber-making love di siang hari maka dia terkena kewajiban yang diantaranya adalah memerdekakan hamba sahaya ataupun memberi makan threescore orang fakir miskin. Pertanyaanya, kenapa memerdekakan hamba sahaya dan memberi makam fakir miskin? Menurut saya, karena tujuan Tuhan melalui puasa adalah menyejahterakan manusia yang di antaranya dengan memerdekakan budak dan membantu yang tak mampu. Sehingga wajar ketika seseorang merusak puasanya maka hukumanya juga memerdekakan budak dan membantu yang tak mampu. Karena itulah yang sebenarnya diinginkan Tuhan dari puasa yang dirusaknya. Seolah Tuhan berkata, “Yang saya kehendaki dari puasa adalah agar kalian meng-sejahterakan manusia. Sehingga, ketika kalian tidak berpuasa, maka kalian pun tetap harus menuejahterakan manusia.” Tuhan berfirman, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” QS Al-Baqarah 114 Terlepas dari pro-kontra ulama dalam memahami ayat tersebut saya ingin mengatakan bahwa secara tegas inti ayat tersebut adalah mewajibkan kita agar mengsejahterakan umat manusia. Lalu mengapa dikatakan “dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”? Karena menurut saya, berpuasa cakupannya lebih universal daripada sekadar manyejahterakan manusia. Itu pun “jika kamu mengetahui”. Wallahu a’lam bish showaab. * Muh Amrullah adalah mahasiswa Al Azhar, Mesir. Penulis aktif di LBMNU Mesir dan tinggal di Nasr City, Kairo, Mesir. Electronic mail [email protected] sumber
mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial